Adab Santri

Marah Karena Cinta, Tapi Jangan Hilang Adab!

Beberapa hari ini ramai di media sosial soal tayangan di Trans7 yang berisi penghinaan terhadap salah satu Kyai NU, Kyai Anwar Manshur. Banyak santri merasa tersinggung, kecewa, bahkan marah kepada Trans7 atas tayangan yang dianggap tak beradab itu.

Ya, marah itu wajar. Aku paham betul perasaan itu. Sebab bagi santri, kyai bukan sekadar sosok guru. Kyai adalah orang tua kedua. Tempat menimba ilmu, mencari berkah, dan belajar mengenal Allah dengan jalan yang penuh kasih. Jadi, wajar kalau banyak santri merasa sakit hati.

Tapi, terkadang cinta kita kepada guru diuji lewat cara kita marah. Kalau kita benar-benar santri, seharusnya kita juga ingat bagaimana para Kyai bersifat zuhud mengajarkan kita menghadapi hal semacam ini dengan kepala dingin dan hati jernih.

Kyai nggak pernah ngajarin kita buat membalas dengan caci maki, apalagi dengan amarah yang membabi buta.Protes boleh. Bahkan perlu, dan dijamin oleh demokrasi.

Tapi cara kita menyampaikan protes itulah yang menentukan seberapa tinggi nilai kesantrian kita. Kalau protesnya berisi makian, ancaman, atau hinaan, maka orang luar akan melihat wajah santri sebagai sosok yang kasar, bukan beradab.

Padahal, santri dikenal karena kelembutannya, bukan kemarahannya. Dalam situasi seperti ini, biasanya muncul banyak hoaks di media sosial. Bisa berupa potongan video tanpa konteks yang jelas, atau narasi provokatif dari sumber yang tak bisa dipertanggungjawabkan.

Kita juga harus hati-hati. Jangan sampai niat membela ulama malah membuat kita ikut menyebarkan kebohongan. Jangan sampai kemarahan kita merugikan banyak orang lain di luar sana, menjadi ancaman bagi orang-orang yang tidak tahu bahkan tidak terlibat dalam tayangan yang kita protes.

Ingat bahwa menyebar hoaks bukanlah akhlak santri. Itu justru mencederai perjuangan para kyai yang selalu menekankan pentingnya tabayyun, memastikan kebenaran sebelum bertindak.

Kalau kita benar-benar menamakan diri sebagai santri, buktikan lewat cara kita bersikap. Bukan dengan teriak paling keras, tapi dengan menampilkan akhlak paling lembut. Bukan dengan membakar amarah, tapi dengan menyalakan kesadaran. Kesadaran bahwa santri adalah salah satu tonggak pendidikan karakter bangsa.

Kalau kita menampakkan wajah beringas, orang luar akan menganggap santri sebagai sosok yang menyeramkan, padahal seharusnya meneduhkan.

Majulah di barisan terdepan untuk membela ulama, tapi dengan menjunjung tinggi martabat mereka. Protes secukupnya. Tak perlu bereaksi berlebihan sampai menyegel, apalagi meneriakkan ancaman seperti “gorok leher” atau “halal darah”.

Marahlah karena cinta, bukan marah karena benci.

Penulis: Vinanda

Similar Posts